Hadits Nabi

"Barang Siapa Menunjukan Kepada Kebenaran Maka Baginya Pahala Seperti Pahala Pelakunya, Tanpa Mengurangi Pahala Sedikitpun Darinya."

Rabu, 19 Oktober 2016

ISTILAH DALAM ILMU USHUL FIKIH


A. Istilah Hukum
1. Hukum Taklif
a. Fardhu
Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama dengan tuntutan yang pasti dan harus, dengan dalil qath’i (pasti), Contohnya, rukun Islam yang lima, yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah mutawatirah, atau sesuatu yang termasyhur seperti membaca Al Quran dalam shalat. Maka jika hukum yang fardhu diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa jika ditinggalkan dan dihukumi kafir jika meninggalkannya.
b. Wajib
Adalah apa-apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama dengan tuntutan yang keras, dengan dalil yang zhan (tidak pasti), seperti, wajibnya zakat fitrah, shalat witir dengan dalil dari hadits ahad (tidak mutawatir).. Menurut qaidah lain, sesuatu yang diberi pahala jika dikerjakan, dan disiksa jika ditinggalkan dan tetapi tidak dihukumi kafir jika meninggalkannya. Jumhur ulama menyamakan antara wajib dan fardhu kecuali Madzhab Al Hanafiyah
c. Al Mandub atau Sunnah
Apa- apa yang dituntut untuk dikerjakan oleh syara’ tetapi tidak dengan keras, atau apa-apa yang diberi pahala ketika mengerjakannya tetapi tidak disiksa jika meninggalkanya. Contohnya, menulis perjanjian utang, shalat sunnah rawatib, puasa sunnah dan lainnya. Para ulama menamakan mandub dengan nafilah, mustahab, tatawu’, muragab fihi, ihsan dan hasan, kecuali Al Hanafiyah, beliau membagi mandub kepada mandub muakkad seperti shalat jam’ah, mandub masyru’ seperti shaum hari senin dan kamis, mandub zaid seperti meniru Rasul Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. dalam makan dan minum.
d. Haram
Adalah apa yang dituntut untuk ditinggalkan oleh agama dengan tuntutan yang keras, menurut Al Hanafiyah, sesuatu yang harus ditinggalkan berdasarkan dalil yang qath’i seperti, haramnya membunuh, minum khamar, berzina dan lain sebagainya. Maka hukumnya wajib menjauhinya dan akan disiksa ketika meninggalkannya, Al Hanafiyah menamakan haram juga dengan, ma’shiyah, dzanba, qabih, mazjur anhu, muatawaidan alaih.
e. Makruh Tahrim
Adalah apa yang harus dituntut untuk ditinggalkan oleh agama dengan tuntutan yang keras tetapi dengan dalil dzani, seperti haramnya menjual dagangan orang lain, haramnya mengkhitbah yang sudah dikhitbah oleh orang lain, haramnya memakai sutra, dan emas bagi laki-laki Apa bila ulama Al Hanafiyah mengatakan makruh biasanya makruh tahrim dan hal ini lebih dekat kepada haram menurut mereka.
f. Makruh Tanzih
Menurut Al Hanafiyah, adalah sesutau yang dituntut oleh agama untuk ditinggalkan tetapi tidak keras tuntutannya dan tidak disiksa bila sampai melakukannya, seperti wudhu dari bekas ludah kucing, memakan hasil buruan burung seperti elang dan gagak dan lain sebagainya. Menurut jumhur ulama makruh hanya satu jenis yaitu sesuatu yang dituntut untuk dikerjakan oleh agama dengan tuntutan yang tidak keras, atau dengan kata lain sesuatu yang diberi pahala ketika meninggalkannya tetapi tidak disksa ketika mengerjakannya.
g. Mubah
Adalah apa- apa yang diperbolehkan oleh agama, baik ditinggalkan atau dikerjakan, seperti makan, minum, tidur, berjalan dan lain sebagainya.
2. Hukum Wadh’i
a. Sebab
Adalah sesuatu yang menjadikan hukum itu ada, apakah hal itu di akui oleh syara’ atau tidak. Misalnya, memabukan adalah yang menyebabkan keharaman khamar, safar (bepergian) yang menjadi sebab dibolehkannya berbuka shaum di bulan Ramadhan dan diperbolehlkannya mengqoashar shalat, sedang sebab yang tidak diakui oleh syara’ misalnya, tergelincir matahari yang menyebabkan diwajibkannya shalat Dzuhur atau terlihatnya hilal di bulan Sya’ban menjadi sebab diwajibkannya shaum pada esok harinya.
b. Syarat
Adalah sesuatu yang menyebabkan sahnya sesuatu tetapi bukan bagian dari sesuatu, seperti, wudhu yang menjadi syarat shahnya shalat tapi wudhu bukan bagian dari shalat.
c. Rukun
Sesuatu yang menyebabkan shahnya sesuatu dan merupakan bagian dari sesuatu, mislanya, takbiratul ihram adalah yang menyebabkan shahnya shalat dan takbiratul ihram merupakan bagian dari shalat.
d. Penghalang
Sesuatu yang apabila ada menyebabkan hukum menjadi tidak ada atau menjadi batal karenanya, contohnya, adanya najis pada pakaian menjadi sebab tidak shahnya hukum shalat, atau punya utang menjadi sebab tidak wajibnya zakat bagi seseorang.
e. Sah
Apa- apa yang terpenuhi rukun dan syaratnya menurut Syara’ misalnya, shalat yang dilakukan menurut rukun dan syaratnya, menyebabkan shalat itu sah.
f. Batal
Sebaliknya dari Shahih menurut jumhur ulama, adapun menurut ulama Al Hanafiyah bathil adalah, sesuatu yang terdapat cacat dalam aqad pokok, yang merupaan rukun dari sesuatu itu. Misalnya, kesalahan dalam akad jual beli, kesalahan pada yang melakukan aqadnya misalnya ia orang gila atau anak kecil.
g. Rusak
Menurut jumhur ulama sama dengan bathil, tetapi menurut ulama Al Hanafiyah adalah sesuatu yang terdapat cacat dalam satu kriteria aqad atau dalam salah satu syaratnya. Misalnya, menjual barang dengan harga yang tidak diketahui, menikahkan tanpa saksi, maka muamalah itu menjadi fasid karena salah satu kriteria syaratnya tidak terpenuhi.
h. Al Ada’ (Mengerjakan)
Mengerjakan suatu kewajiban pada waktu yang ditentukan menurut syara’ misalnya, shalat atau shaum pada waktunya.
i. Al I’adah (mengulang)
Mengerjakan suatu kewajiban yang kedua kalinya pada waktunya. Misalnya mengerjakan shalat berjama’ah di masjid setelah mengerjakannya dirumah, atau mengulang puasa kedua kalinya karena yang pertama tidak sah karena suatu sebab.
j. Al Qadha’
Mengerjakan suatu kewajiban setelah lewat waktunya, seperti mengerjakan shalat yang terlupa karena tidur atau yang lainnya (tidak disengaja) misalnya, mengerjakan shlat shubuh sedang matahari sudah tinggi.
h. Al ‘Azimah
Peraturan agama yang pokok yaitu sebelum peraturan itu tidak ada peraturan lain yang mendahuluinya dan berlaku umum bagi seluruh mukallaf dalam semua keadaan dan waktu sejak dari semulanya. Seperti kewajiban shalat lima waktu dengan jumlah rekaat yang ditentukan secara sempurna. Lawannya adalah rukhsah. Contoh lain, semua bangkai haram dimakan oleh semua orang dan dham keadaan apapun, ini disebut peraturan pokok atau azimah.
k. Ar Rukhshah
Peraturan tambahan yang dijalankan berhubung ada hal-hal yang memberatkan (masyaqqah) sebagai pengecualian dari peraturan-peraturan pokok. Contoh, dalam keadaan terpaksa bangkai boleh dimakan asal tidak maksud menentang dan berlebih-lebihan, maka hal itu disebut rukhshah.
B. Istilah Ushul
Isthilah ushul adalah istilah khusus yang berakaitan dengan hukum yang biasa digunakan oleh para ulama dalam menetapkan hukum syara’
1. Umum dan Khusus (amm dan khas)
Umum dan khusus termasuk ke dalam salah satu aturan untuk memahami maksud Al Quran dan hadits, karena ayat dengan ayat atau dengan hadits biasanya saling menjelaskan tentang kandungan maknanya, diantaranya ada lafadz yang ‘amm (umum) dan ada juga yang khas (khusus).
Menurut definisi umum adalah, suatu lafadz yang digunakan untuk menunjukan suatu makna yang dapat terwujud pada satuan-satuan yang banyak yang tidak terhitung, misalnya dalam surat Al Hujurat ayat 18 Allah berfirman,
“Dan Allah mengetahui apa-apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini umum menunjukan bahwa semua amal baik kecil besar terlihat ataupun tidak, baik jelek ataupun baik pasti diketahui oleh Allah, maka lafadz apa-apa termasuk dalam lafadz umum karena tidak terbatas.
Menurut definisi khusus adalah, suatu lafadz yang digunakan menunjukan satu orang, satu benda nama tempat atau yang lainnya. Katika ada dua lafadz satu umum satu khas maka lafadz umum harus di kecualikan (ditakhsis) oleh yang khas tadi. Misalya ketika Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 29,
“Dialah Allah yang telah menjadikan apa-apa yang ada di muka bumi ini untuk kalian…”
berarti kita boleh memanf aatkan segala apa yang ada dimuka bumi ini termasuk daging babi, khamar (arak) dan lain sebagainya, karena dalam ayat lain Allah mengharamkan khamar dan daging babi berarti kita tak boleh lagi memakai dalil umum untuk memakan daging babi atau minum khmar karena ayatnya sudah dikecualikan.
Dengan demikina dapat dikatakan bahwa khas adalah tafsir atau penjelasan untuk menegaskan batas yang dimaksud oleh kata-kata yang umum.
2. Muthlaq dan Muqayyad
Muthlaq adalah, laf adz yang menunjukan suatu hal atau barang atau orang tertentu tanpa ikatab (batasan) yang tersendiri. Contoh firman Allah dalam surat Al Maidah ayat: “Diharamkan atas kalian bangkai darah, dan daging babi.”
Berarti semua darah dan daging babi haram dimakan. Muqayyad adalah, suatu lafadz yang menunjukan sesuatu barang atau barang tidak tertentu disertai ikatan (batasan) yang tersendiri berup perkataan, bukan isyarat.
Contoh firman Allah dalam ayat berikut:
“Katakanlah,”Aku tidak peroleh di dalam wahyu yang diturunkan kepadaku sesuatu makanan yang diharamkan kecuali bangkai, darah yang mengalir dan daging babi…” (QS Al Anam: 145)
Berarti kalimat darah dalam ayat Al Maidah sudah dibatasi (ditaqyid) oleh ayat Al Anam yaitu kaimat “yang mengalir”
Menurut jumhur ulama apabila ada lafadz muthlaq dan muqayyad yang sama hukum dan sebabnya, maka lafadz muthlaq harus dibawa kepada muqayyad yang menjadi penjelasan bagai lafadz muthlaq, bararti yang haram adalah darah yang mengalir saja bukan semua darah.
3. Mujmal dan Mubayyan
Mujmal adalah lafadz atau perkataan yang belum jelas maksudnya, seperti kalimat, “Dirikanlah oleh kalian “shalat”…”, maka kata shalat dalam Al Quran ini masih mujmal sebab shalat bisa berarti berdo’a atau perbuatan, belum dijelaskan apa maksudnya.
Mubayyan adalah suatu perkataan yang terang maksudnya tanpa memerlukan penjelasan lainnya. Bisa dari ayat itu sendiri atau dari hadits Nabi Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, seperti firman Allah:
“Apa bila kalian hendak mendirikan shalat maka cucilah muka-muka kalian dan tangan-tangan kalian………” (QS Al Maidah: 6)
4. Manthuq dan Mafhum
Manthuq adalah hukum yang ditunjukan oleh ucapan lafadz itu sendiri. Mantuq dibagi dua:
a. Nash, yaitu suatu lafadz atau perkataan yang jelas dan tidak mungkin ditakwilkan, seperti Allah wajibkan pada kalian sahaum, Allah haramkan pada kalian bangkai, darah dan daging babi. Maka kata-kata wajib dan haram tdak bisa ditakwilkan menjadi sesutu yang boleh dikerjakan atau boleh ditinggalkan, sebab memang nashnya seperti itu.
b. Dzahir adalah laf adz yang menunjukan suatu makna secara tekstual. Tapi makna ini bukan sesuatu yang dimaksud, atau sesuatu yang memerlukan takwil atau keterangan, seperti firman Allah,
”Tanyakanlah oleh kalian kampung tersebut…… (QS Yusuf: 82)
Maka secara dzahir yang ditanya itu kampung tapi ini bukan maksud sebenarnya karena kampung tidak bisa ditanya oleh karena itu ayat ini memerlukan takwil atau penjelasan diiantara dengan dengan kaidah bahasa atau majaz.
Mafhum ialah hukum yang tidak ditunjukan oleh lafadz itu sendiri tapi berdasarkan pemahaman terhadap lafadz. Misalnya, firman Allah surat Al Isra ayat 23:
“Janganlah mengucapkan kata-kata “uf’” kepada kedua orang tua dan jananlah menghardik keduanya. (QS Al Isra’: 23)
Berarti memukul kedua orang tua lebih diharamkan karena mengucapkan kata-kata kasar sudah tidak boleh apalagi memukul.
Contoh lain, firman Allah dalam ayat berikut ini:
Mereka yang memakan harta benda anak-anak yatim dengan aniaya sebenarnya memakan api ke dalam perutnya. (QS An Nisa: 10)
berarti membakar harta anak yatim sama hukumnya dengan memakan harta anak yatim karena karena membuat sesuatu kedzaliman terhadap anak yatim.
C. Istilah dalam Ilmu Fiqih
1. Ijtihad
Dari segi bahasa Ijtihad berarti sungguh-sungguh sedang menurut istilah ijtihad adalah menggunakan seluruh kesanggupam untuk menetapkan hukum-hukum syari’at, orangnya disebut mujtahid. syarat-syarat Ijtihad
Mengetahui nash dari Al Quran dan As Sunnah kalau tidak mengetahui maka ia bukan mujtahid dan tidak boleh berijtihad
  • Mengetahui soal-soal ijma, hingga ia tidak berfatwa yang berlainan dengan ijma’
  • Mengetahui bahasa arab
  • Mengetahui ilmu ushul fiqh (kaidah dasar pengambilan hukum fiqh)
  • Mengetahui nasikh dan mansukh
2. Ittiba’
Ialah menerima perkataan orang lain dengan mengetahui sumber-sumber atau alasan perkataan tersebut, orangnya disebut muttabi’
3. Taqlid
Ialah mengikuti pandapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.
a. Syarat-syarat taqlid:
Bertaqlid diboleh dengan syarat-syarat orang awam (orang biasa) yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum, ia boleh mengikuti pendapat lain dan mengamalkannya.
Adapun orang yang pandai dan sanggup mencari sendiri maka hendaklah mencari sendiri atau minimal ittaba’ kepada salah satu madzhab tertentu.
b. Syarat-syarat masalah yang ditaqlid
 Hukum akal
Dalam hkum akal tidak boleh bertaqlid kepada orang lain, seperti mengetahui adanya zat yang menjadikan alam serta sifat-sif atNya dan hukum akal lainya, karena jalan menetapkan hukum-hukum tersebut ialah akal, sedang setiap oarng punya akal, karena itu tidak ada gunanya bertaqlid kepada orang lain.
 Hukum syara’
Hukum syara ada dua macam yaitu yang bisa diketahui dengan pasti seperti wajibnya shalat lima waktu, puasa, zakat dan haji dalam masalah ini tidak boleh seseorang bertaqlid. Yang kedua masalah-masalah yang diketahui dengan penyelidikan dan mencari dalil, seperti ibadah furu’iyah.
c. Taqlid yang diharamkan
1. Taqlid kepada orang lain dengan tidak memperdulikan Al Quran dan As sunnah
2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui keahliannya untuk ditaqlidi
Pesan Imam Empat dalam Masalah Lain-lain
“Jika perkataanku manyalahi kitab Allah dan Hadits Rasul, maka tinggalkanlah pendapatku.”
“Seseoarang tidak boleh mengambil perkataan saya sebelum mengetahui dari mana saya berkata.”
“Saya hanya manusia biasa yang kadang salah kadang benar, selidikilah pendapat saya, kalau sesuai dengan Al Quran dan Hadits, maka ambillah, jika menyalahi hendaklah tinggalkanlah.”
“Perumpamaan orang yang mencari ilmu tanpa hujjah (alasan) seperti orang yang mancari kayu bakar di waktu malam, ia membawa kayu-kayu itu sedang ia tidak tahu di dalamnya ada ular yang siap menggigit sedang ia tidak tahu.”
“Janganlah taqlid kepada saya, Malik, Tsauri, Auza’i, tapi ambilah dari mana mereka mengambil.”
Sumber: http://www.hasanalbanna.com/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tentang Admin

Foto saya
Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia